Kilasan Pameran Memetri: Merawat Iklim, Merawat Masa Depan
Jaga Iklim, Jaga Masa Depan
Perubahan iklim telah mengancam berbagai aspek kehidupan. Berbagai dampak perubahan iklim telah menunjukkan tanda nyata dalam kehidupan, mulai dari peningkatan intensitas permukaan air laut serta kepunahan flora, fauna, dan satwa liar. Risiko-risiko telah hadir di berbagai wilayah di Indonesia yang memantik tim riset PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) untuk menjelajahi wilayah-wilayah terdampak. Berbagai temuan dalam riset hadir untuk menyingkap respons masyarakat terhadap permasalahan geografis. Berbagai praktik responsif dikemas dalam karya visual melalui berbagai media. “Merawat” sudah seharusnya menjadi tanggung jawab setiap masyarakat untuk menghadapi krisis iklim. Sebagai praktik yang lahir dari kesadaran dan cinta, tindakan “merawat” sudah mulai harus digalakkan.
Apa itu “Memetri”?
Merawat atau memelihara sebagai makna dari memetri dikreasikan menjadi akar ide dari “to create a better urban future” sebagai tema Hari Habitat Dunia 2024 dan “leading climate and local action for cities” sebagai tema Hari Kota Dunia 2024. Memetri menanamkan nilai kebaikan untuk anak muda dalam menyikapi wilayah (tlatah), iklim (mangsa), dan bumi (bantala). Sebagai bagian dari institusi pembangunan, PUPR menjaga prinsip memetri sebagai langkah strategis terhadap kesinambungan program dan kerja PUPR. Lebih lanjut, memetri dapat diterapkan sebagai paradigma dasar dalam kerja individu dan institusi negara dalam menjaga kesinambungan pembangunan di masa depan, baik dalam setiap geografis (pegunungan, pesisir, laut, sungai, dan lain sebagainya), arena sosial (urban-rural, pesisir-pedalaman), dan ranah budaya (kampung, desa, adat, komunitas).
Pameran Memetri menghadirkan representasi berbagai komunitas dan seniman yang mengadopsi sudut pandang baru di wilayah masing-masing dengan nilai dan paradigma memetri. Sebagai kurator pameran Memetri, Yoshi Fajar Kresna Murti mengemukakan praktik tersebut yang bergerak dalam mewujudkan lingkungan lestari dan metode kerja kreatif yang ramah terhadap ekosistem dan sosial. Terdapat 13 komunitas dan 5 kelompok seniman bergerak dengan berlandaskan semangat memetri dalam wilayah keterlibatan yang saling menguatkan, mulai dari wilayah gunung, hutan, desa, pesisir, dan pulau kecil.
Menyigi Pameran dan Praktik Memetri
Semangat memetri tumbuh dalam setiap wilayah keterlibatan, dimulai dari penggarapan wilayah gunung. Kelompok Gegerboyo sebagai kelompok seniman di Yogyakarta menyuguhkan instalasi Kayon Panutup yang merangkum buah perjalanan selama bersinggungan dengan berbagai unsur-unsur Gunung Hargo Gumilang atau Gunung Tutup di Ponjong, Gunung Kidul. Kreasi selanjutnya menyajikan ekowisata Desa Nglanggeran yang peduli akan keberlanjutan dan Lakoat Kujawas yang mengisahkan rangkaian kerja dan momen masyarakat Pegunungan Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur dalam mengembangkan pendidikan alternatif yang reflektif dan realistis. Ekspresi kreatif berikutnya berupa produk olahan jagung dari Sri Gethuk yang didukung dari UNESCO hingga UU KBAK.
Melanjutkan eksplorasi wilayah gunung, sorotan berikutnya mengarah pada wilayah hutan yang menghadirkan Hutan Kemasyarakatan (HKM) Kalibiru dengan Infused Bambu sebagai sebuah rekaman hidup yang memuat ingatan bersama masyarakat dalam upaya menghutankan kembali kawasan Kalibiru. Selanjutnya, Wana Nagara mempersembahkan presentasi sebagian dari tumbuhan asli Jawa yang kini semakin langka dijumpai. Selain wilayah hutan, eksplorasi wilayah meluas ke wilayah desa melalui Kongres Kebudayaan Desa dari Desa Panggungharjo, Jero Tumbuk dari Yayasan Bali Kuna Santi, serta Angkringan Murakabi dari Murakabi Movement. Kreasi-kreasi tersebut berupaya melukiskan perhatian terhadap isu desa melalui beragam medium.
Perjalanan narasi berlanjut ke wilayah kota, dengan Rujak Center for Urban Studies yang berupaya menghadirkan makna perkotaan tidak hanya sebatas fisik saja, namun juga meluas ke ruang yang berkelanjutan dan berpihak pada manusia. Yayasan Kota Kita juga tak luput dalam mewujudkan kota tidak hanya sebatas fisik saja, melainkan sebagai kota inklusif yang menjembatani manusia, ruang, dan alam. Penelusuran berikutnya pada wilayah pesisir dengan diawali oleh Yayasan Lasem Heritage yang menyuguhkan lanskap Lasem sebagai refleksi kota pesisir. Selanjutnya, Yayasan Rumah Bahari Gemilang (Rubalang) yang awalnya menghadirkan rumah baca untuk anak-anak pesisir, kini juga berupaya meningkatkan kesadaran terhadap laut dan iklim. Lebih jauh lagi, Tactic Plastic yang menyuguhkan karya Laku Larung yang menyorot relasi manusia terhadap laut dalam perspektif yang lebih luas.
Selanjutnya, fokus beralih ke wilayah laut dan pulau kecil melalui Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia yang menonjolkan potret masyarakat nelayan dengan dua alat tangkap praktis dan sarat hikmah, yakni pocong-pocong dan dan bole-bole. Menjangkau lebih jauh lagi, terdapat karya presentasi bertajuk Cubang: Tabungan Hidup Pulau Kecil di Samudra dari Kelompok Tenun Cepuk Alam Mesari, Pulau Nusa Penida, Bali, yang berupaya mengisahkan transformasi Nusa Penida yang awalnya sebagai pulau mandiri menjadi bergantung dengan pihak luar. Melangkah lagi, terdapat Iwan Yusuf yang menampilkan karya dengan beragam medium melalui kemampuan kemahiran tangan yang menakjubkan. Karya tersebut mengusung judul Lambung Kiri dan Kanan, Mencari Titik Keseimbangan yang menyuguhkan kisah antara dunia darat dan dunia laut.
Makna dan Harapan
Pameran ini diharapkan dapat turut menjaga keberlangsungan dan kebertahanan iklim serta kelestarian bumi dengan membawa konsep memetri. Sebagai paradigma dan semangat berbagi dari beragam komunitas dan individu, memetri hadir untuk menjaga lingkungan dan kebutuhan hidup di masa depan. Nilai-nilai yang diusung oleh komunitas menjadi wujud penghargaan terhadap alam dan seluruh isinya. Dalam menanggulangi krisis iklim dan dampaknya, kerja-kerja “merawat” melalui pemaknaan memetri sudah selayaknya digaungkan.