Perumahan
Urusan terkait perumahan rakyat di Indonesia sangat kompleks karena sistem penyelenggaraannya yang sangat multi aktor, sektoral, dan berjenjang sehingga menjadi tantangan yang besar. Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang telah ada, seperti UU Nomor 1 Tahun 2011, UU Nomor 20 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2016, serta PP Nomor 14 Tahun 2016, PP Nomor 64 Tahun 2016, PP Nomor 47 Tahun 2019, dan PP Nomor 25 Tahun 2020, diharapkan mampu menyelesaikan urusan pelayanan dasar terkait perumahan dan kawasan permukiman. Sebagaimana diketahui sejak tahun 1950 hingga sekarang (tahun 2024), atau selama 74 tahun, Indonesia telah berusaha untuk menghadirkan peran negara dalam sektor perumahan. Upaya yang dilakukan mencakup berbagai inisiatif dan program yang dirancang untuk menyediakan perumahan yang terjangkau dan layak bagi masyarakat.
Pemerintah terus memberikan dukungan untuk kepemilikan dan kepenghunian rumah melalui beberapa instrumen kebijakan maupun pembiayaan. Instrumen kebijakan dan pembiayaan yang dilakukan pemerintah diantaranya Insentif Perpajakan, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), bahkan Penyediaan Rumah Susun (Rusun) dan Rumah Khusus (Rusus) melalui Kementerian PUPR serta dukungan penyediaan pembiayaan melalui PMN kepada BUMN (PT SMF dan Bank BTN). Namun demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut belum dapat mengatasi permasalahan pemenuhan kebutuhan perumahan.
Faktanya hingga saat ini, pemerintah masih menghadapi tantangan sangat berat dalam mewujudkan hal tersebut. Realisasi penyediaan perumahan perkotaan masih sangat rendah, terutama yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Bahkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa baru 60,66% rumah tangga di Indonesia yang menempati rumah yang layak, dan sisanya bermukim di hunian yang tidak layak. Kondisi backlog di Indonesia masih menjadi pekerjaan yang besar untuk diselesaikan. Data Kementerian PUPR (2022) menunjukkan 6,98 juta rumah tangga di Indonesia tidak mampu menyewa atau membeli rumah, yang dihitung sebagai backlog kepenghunian. Rumah tangga tersebut hidup menumpang (bebas sewa) karena mereka memiliki kapasitas terbatas untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, 17% penduduk Indonesia tidak memiliki rumah, yang artinya sebanyak 12,7 juta rumah tangga yang tidak memiliki rumah, atau biasa disebut sebagai backlog kepemilikan rumah. Sebanyak 1,13 juta rumah tangga baru membutuhkan rumah setiap tahunnya di Indonesia. Padahal, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan, realisasi Program Satu Juta Rumah, sejak tahun 2015 dicanangkan hingga 2022, sudah mencapai 7,99 juta unit rumah. Hal ini artinya, kesenjangan kebutuhan hunian masih terbentang lebar.
Permasalahan perumahan rakyat menjadi semakin rumit akibat urbanisasi. Sektor perumahan dalam hal ini menjadi inti dari urbanisasi, baik dari sudut pandang kesetaraan dan keadilan (equity) maupun sebagai sektor investasi yang penting. Menurut data BPS tahun 2022, lebih dari 160 juta penduduk Indonesia (57,9% dari total populasi) tinggal di perkotaan. Jumlah penduduk perkotaan tersebut akan meningkat terus dan diperkirakan jumlahnya mencapai 318,9 juta jiwa dengan 72,8% penduduk tinggal di wilayah perkotaan. Pada 2045, pertambahan penduduk perkotaan dan arus urbanisasi yang terus tumbuh secara eksponensial tentu harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal layak huni dan terjangkau di perkotaan yang dilengkapi dengan sarana, prasarana, dan utilitas perkotaan yang memadai.
Bila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perkotaan, akan timbul berbagai masalah seperti tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh, kemacetan, kekurangan air bersih, termasuk timbulnya masalah sosial seperti kriminalitas serta masalah kesehatan yang berdampak pada stunting. Bila tidak diselesaikan, permasalahan tersebut dapat menghambat dalam mewujudkan visi nasional menuju Indonesia Emas 2045. Dengan demikian, penyediaan perumahan perkotaan merupakan faktor determinan yang dapat mewujudkan visi nasional tersebut. Pengembangan ekosistem perumahan yang berproses dinamis dapat mendukung target pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni masyarakat Indonesia. Pada tahun 2045, pemerintah telah menargetkan angka kekurangan rumah sebesar 0% atau zero backlog, yang sejalan dengan pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs).
Mengingat pentingnya sektor perumahan yang memiliki kontribusi strategis bagi perekonomian di Indonesia dan berpotensi menumbuhkan ekonomi hingga Rp 48,8 triliun. Hasil penelitian dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) tahun 2023 memperlihatkan bahwa sektor properti, real estate, dan konstruksi selama periode 2018-2022 berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar Rp 2.349 triliun hingga Rp 2.865 triliun per tahun atau setara dengan 14,6% hingga 16,3% terhadap PDB nasional. Setiap kegiatan sektor properti akan memberikan dampak secara langsung kepada 110 sektor perekonomian dan 75 sektor perekonomian lainnya secara tidak langsung dengan nilai multiplier effect output sebesar 1,74.
Minggu, 26 Mei 2024
Topik
Publikasi
Kilas Balik Habitat
Apa yang kerap orang pikirkan ketika mendengar kata “kota”? Mungkin yang terlintas pertama kali di pikiran ketika mendengar kata itu ad... Mulai Membaca
VNR for Implementation of NUA Republic of Indonesia
On the commemoration of World Habitat Day 2021, the government of Indonesia has submitted a provisional report on the implementation of New Urban A... Mulai Membaca