Kategori Artikel

Pengembangan Spasial

Kebutuhan pengembangan spasial di Indonesia tidak hanya dalam konteks makro, tetapi juga dalam konteks meso hingga mikro. Berikut ini kerangka kebijakan pengembangan spasial berdasarkan tantangan dan persoalan pertumbuhan dan perkembangan perkotaan di Indonesia.

  1. Pengembangan sistem perkotaan dalam konteks negara kepulauan. Tidak hanya isu ketimpangan wilayah dan sebaran pusat-pusat pertumbuhan tetapi pengembangan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi biru dalam konteks negara kepulauan. Kebijakan sistem kota-kota yang mempertimbangkan keselarasan dari sumber daya yang rentan dan harus dilindungi.

  2. Penguatan fungsi dan hirarki perkotaan di masa mendatang. Penguatan ini dilakukan berdasarkan:

    a. Karakteristik ekonomi geografi yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan brand agriculture, perkembangan koridor ekonomi, dan keintegrasian spasial (spatial integration);

    b. Keterkaitan antar perkotaan (urban-urban linkage) maupun antara perkotaan dan pedesaan (urban-rural linkage) untuk mewujudkan aglomerasi penduduk dan ekonomi sehingga alternatif pengembangan kluster ekonomi dimungkinkan. Keterkaitan kota inti dengan kota induknya tetap menjadi. Selain mobilitas, juga upaya pengurangan perjalan jarak juga (desentralisasi planologi).

  3. Internal Kota. Integrasi sistem mobilitas dengan guna lahan atau konfigurasi ruang serta peningkatan konektivitas untuk memperpendek perjalanan, mengefisienkan perjalanan, mengurangi konsumsi energi. Pembatasan mobilitas masih relevan serta pengembangan konsep-konsep pengembangan pada skala mikro. Integrasi guna lahan dan sistem transportasi menjadi agenda mendesak untuk mengurangi panjang perjalanan, konsumsi energi dan ancaman terhadap ruang yang rentan dan perlu dilindungi serta mengefisienkan penyediaan utilitas perkotaan. Upaya pengembangan kawasan berorientasi transit membutuhkan persyaratan sistem transit dan kawasan di sekitar simpul transit sehingga membutuhkan perangkat spasial yang memadai untuk memastikan kawasan ini menjadi kompak, mempunyai keragaman sosial dan ekonomi. Perwujudan agenda coklat dan hijau menjadi isu penting yang harus ditangani, demikian juga upaya perlindungan ruang yang rentan mengalami perubahan penggunaan lahan.

  4. Perangkat Pengembangan Spasial. Bagaimanapun juga, kemampuan perangkat pengembangan spasial ada batasnya menghadapi dinamika dan ketidakpastian. Ketentuan yang bersifat teknis, meskipun disusun dalam pertimbangan antisipatif dan dinamika yang terjadi dan yang akan terjadi, tetap saja ada beberapa yang hal ‘’yang tidak terjawab’’ dalam merespon perkembangan yang terjadi. Kebutuhan pengembangan spasial seringkali tidak bisa ‘’menunggu’’ demikian juga ada kebutuhan keberpihakan terutama pada kelompok ‘’kecil/marginal’’. Kondisi memunculkan kebutuhan suatu rencana pengembangan spasial yang mampu menjawab tingkat ketidakpastian yang semakin tinggi dan memperkuat kelembagaan (kebutuhan kelembagaan, tingkat kewenangan, dan prosedur untuk melakukan ‘’adjustment’’/’’justifikasi’’ terhadap aturan yang ada) dalam melakukan ‘’adjustment’’/’’justifikasi’’ yang tidak terduga di masa mendatang, keterpaduan ketentuan teknis yang bersifat substantif dan memperkuat langkah-langkah prosedural, serta kebutuhan untuk identifikasi tingkat ketidakpastian setiap materi sebagai dasar perumusan ketentuan teknis. Peringkat pengembangan spasial membutuhkan perangkat yang tidak hanya untuk mengatasi eksternalitas, free rider, dampak, konflik, ketidakadilan juga memberikan ‘’ruang komunikatif’’, dinamis, dan inovatif.

  5. Kebutuhan pengelolaan kawasan perkotaan sebagai satu kesatuan sistem. Upaya pemecahan persoalan kawasan secara bersama-sama sebagai satu kesatuan sistem wilayah, lintas administrasi dan lintas tingkatan pemerintahan. Tidak hanya sebatas untuk memastikan integrasi dan koordinasi dalam kawasan perkotaan tetapi juga mengembangkan inovasi-inovasi pembiayaan.

  6. Kolaborasi dalam Perwujudan Pengembangan Spasial. Pemerintah/pemerintah daerah dengan segala keterbatasannya membutuhkan upaya kolaborasi, dimana peran stakeholder dalam pengembangan spasial menjadi unsur penting. Stakeholder adalah individu-individu, kelompok dan organisasi, yang memiliki minat atau kepedulian dan pengaruh dalam sistem area pengembangan spasial yang diberikan. Pemerintah/pemerintah daerah dapat mendorong penggunaan perencanaan kolaboratif yang dapat membantu memperbaharui dan mengimplementasikan rencana. Kolaborasi yang mementingkan peran stakeholder ini akan dapat:
  1. Membantu mengimplementasikan rencana tata ruang;
  2. Memasukkan fitur peningkatan komunitas di setiap program yang diusulkan;
  3. Kolaboratif tidak hanya untuk perwujudan rencana, namun harus dimulai dari proses perencanaan;
  4. Memasukkan proses perencanaan kolaboratif dalam rencana sebagai komponen implementasi.

Pengembangan spasial perkotaan di Indonesia dengan kerangka sebagaimana tersebut di atas, dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

  1. Demokratis. Tidak hanya top down tetapi juga button-up, mendengarkan masyarakat;
  2. Subsidiarity. Pengembangan spasial dilakukan untuk kepentingan lokal dan juga melihat kepentingan nasional;
  3. Partisipasi. Masyarakat harus diinformasikan terkait aspek-aspek pengembangan spasial termasuk dalam mitigasi dan adaptasi dalam konteks kebencanaan;
  4. Integrasi. Pengembangan spasial dilakukan dengan mempertimbangkan dan memperhatikan rasio;
  5. Proporsional. Fleksibilitas investasi/kepentingan nasional harus diimbangi dengan proteksi lingkungan dan kepentingan lokal;
  6. Precautionary. Pengembangan spasial harus memperhitungkan dampaknya, berbasis risiko;
  7. Alokasi kompetensi dalam perwujudan pengembangan spasial yang mencakup keselarasan tugas dan wewenang.  


Minggu, 26 Mei 2024
Topik