Kategori Artikel

Tata Kelola & Pembiayaan

Proses desentralisasi tanggung jawab pemerintahan kepada pemerintah daerah di Indonesia dapat dikatakan dimulai dengan disahkannya dengan Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pada hakikatnya, kedua UU ini mengalihkan sejumlah otoritas politik dan sumber daya keuangan ke level kota dan kabupaten, termasuk dalam hal penyelenggaraan perkotaan, seperti misalnya pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan publik, serta tata kelola dan manajemen perkotaan.

 

Selain daripada pembagian urusan pemerintahan, UU 22/1999 juga turut memperkuat peran kota dan aktor lokal melalui dampaknya terhadap proses politik daerah, dimana menurut Pasal 34 poin (2) dari Undang-Undang ini, pemilihan Kepala Daerah setelah disahkannya undang-undang ini dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan bukan lagi oleh pemerintah pusat seperti pada periode sebelum reformasi.

 

Pengalihan otoritas dari pemerintah nasional kepada pemerintah daerah dalam hal pembangunan, dan pemilihan kepala daerah sesuai dengan UU 22/1999 ini, pada hakikatnya memberikan ruang dan juga kewajiban kepada pemerintah kota untuk turut berpartisipasi secara lebih aktif dalam kegiatan pembangunan, terutama pembangunan kota, sesuai dengan semangat demokrasi yang melandasi era reformasi pada kala itu.

 

Termasuk di dalam UU 22/1999 adalah pendefinisian berbagai sumber pendapatan daerah, seperti pajak, dana perimbangan, dan pinjaman daerah termasuk juga wewenang untuk menarik pajak daerah. hal ini memberikan daerah kontrol yang lebih besar terhadap sumber daya keuangan mereka, yang memungkinkan daerah untuk melaksanakan berbagai tanggung jawabnya dalam berbagai sektor pembangunan. 

 

Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu topik lainnya yang dominan muncul dalam diskusi NUF 2023, dengan menimbang pentingnya peran infrastruktur untuk mempercepat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Indonesia. Secara umum, dari segi daya saing (competitiveness), posisi Indonesia cenderung membaik selama lima tahun terakhir, terlihat dari kenaikan peringkat Indonesia dalam World Competitiveness Ranking 2023, dimana Indonesia menduduki peringkat 34, setelah pada tahun 2020 menduduki peringkat 40. Terutama dari business efficiency dan government efficiency, peringkat Indonesia dalam hal daya saing di kedua hal ini cenderung mengalami peningkatan signifikan.

 

Meskipun demikian, dari sisi pembangunan infrastruktur, Indonesia menduduki peringkat 51 tahun total 64 negara dievaluasi dalam World Competitiveness Ranking 2023. Di dalam kelompok peer group negara-negara Asia-Pasifik yang terdiri atas 14 negara, Indonesia menduduki peringkat 10 pada tahun 2023 di bawah negara-negara seperti Thailand (peringkat 30), Malaysia (peringkat 27), China (peringkat 21), dan Singapura (peringkat 4). Infrastruktur masih menjadi poin terlemah dari keempat measurement area yang dievaluasi oleh IMD, dengan Indonesia menduduki peringkat 26 untuk infrastruktur dasar, 35 untuk infrastruktur teknologi, 49 untuk scientific infrastructure, 58 untuk infrastruktur kesehatan dan lingkungan, serta 57 untuk infrastruktur pendidikan. Meskipun mungkin belum menjelaskan kondisi pembangunan infrastruktur secara mendetail, peringkat ini mengindikasikan masih diperlukannya percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, serta masih adanya gap pada infrastruktur di Indonesia yang perlu ditangani dalam merencanakan pembangunan infrastruktur ke depannya.

 

Pembiayaan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu isu yang sering dibahas dalam diskusi-diskusi pembangunan nasional dan daerah, termasuk di dalam NUF. Menurut RPJMN 2020-2024, kebutuhan belanja infrastruktur Indonesia mencapai Rp 6,445 triliun, sementara kemampuan pemerintah untuk mendanai kebutuhan ini hanya mencapai Rp 2,385 triliun (37% dari total kebutuhan pendanaan).


Minggu, 26 Mei 2024
Topik