Kategori Artikel
National Urban Forum (NUF) Praktik baik implementasi NUA dari seluruh stakeholder

Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025
Selasa, 16 Desember 2025

03. Praktik baik indikator 54

Praktik Baik untuk Indikator Tema 3 Nomor 54: Keberadaan Rencana Pengelolaan Pesisir dan/atau Darat yang Diberlakukan di Negara Ini

Konservasi Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat dan Konservasi Penyu di Kabupaten Sorong

Ringkasan:
Konservasi terumbu karang di Raja Ampat dan konservasi penyu di Sorong menjadi contoh pengelolaan laut berbasis spasial, kolaborasi lintas sektor, dan keterlibatan masyarakat adat. Di Raja Ampat, pembentukan jaringan kawasan konservasi seluas lebih dari 2 juta hektar berhasil meningkatkan tutupan karang hidup dari 36% pada 2006 menjadi lebih dari 45% pada 2020, serta meningkatkan biomassa ikan hingga 250% dalam satu dekade. Ekowisata juga berkembang pesat dengan dana konservasi yang digunakan kembali untuk pengelolaan kawasan, sekaligus berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim dengan potensi serapan hingga 15 juta ton COâ‚‚ per tahun. Sementara itu, di Sorong, jumlah sarang penyu meningkat dari sekitar 150 sarang pada 2010 menjadi lebih dari 500 sarang pada 2022, dengan tingkat keberhasilan penetasan telur naik dari 40% menjadi di atas 80%. Pendekatan budaya-ekologis yang melibatkan masyarakat adat Moi dan Maybrat tidak hanya memperkuat perlindungan ekosistem, tetapi juga membuka peluang ekowisata berbasis konservasi yang menambah manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

Deskripsi:

Konservasi terumbu karang di Raja Ampat merupakan contoh pengelolaan sumber daya laut yang sukses berdasarkan perencanaan spasial, kolaborasi lintas sektor, dan dukungan masyarakat setempat. Wilayah Raja Ampat terdiri dari 4,6 juta hektar lautan, 1.411 pulau kecil, pulau karang atau atol, dan gosong, yang mengelilingi empat pulau utama yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool. Terletak di garis khatulistiwa, Raja Ampat memiliki beberapa keanekaragaman hayati laut terkaya di Bumi. Daerah ini dikenal sebagai jantung Segitiga Karang Dunia karena menampung lebih dari 550 spesies karang (sekitar 75% dari spesies di dunia) dan merupakan 'rumah' bagi lebih dari 1.600 spesies ikan, 6 dari 7 spesies penyu laut yang terancam punah, dan 17 spesies mamalia laut yang diketahui.

Kelimpahan sumber daya biologis merupakan sumber kehidupan dan sumber mata pencaharian bagi lebih dari 50.000 orang yang tersebar di 117 desa. Namun, Raja Ampat tidak selalu seperti sekarang ini. Bertahun-tahun yang lalu, surga bawah laut Raja Ampat hancur akibat aktivitas penangkapan ikan komersial yang tidak bertanggung jawab dan praktik ilegal serta merusak, seperti penggunaan bom ikan dan pemotongan sirip hiu. Pada tahun 1990-an, beberapa laporan perikanan mencatat penurunan hasil tangkapan hingga 90% di seluruh kawasan laut Kepala Burung, termasuk Raja Ampat.

Menyadari pentingnya ekologis Raja Ampat dalam konteks nasional dan global, sejarah konservasi dimulai secara intensif pada tahun 2004, ketika Pemerintah Kabupaten Raja Ampat bersama dengan LSM, seperti Conservation International (CI), Worldwide Fund For Nature (WWF), dan The Nature Conservancy (TNC) mulai menginisiasi pengelolaan berbasis komunitas dengan membangun jaringan Kawasan Lindung Laut (MPA) di bawah yurisdiksi pemerintah nasional dan provinsi, yang sekarang mencakup total 2.000.109 hektar. Semua MPA terdiri dari beberapa zona, yang masing-masing mengatur aktivitas yang diizinkan dan dilarang. Pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2008 tentang kawasan lindung laut memperkuat landasan hukum untuk pengelolaannya. Salah satu program kolaborasi penting adalah "Program Lanskap Laut Papua", yang menggabungkan ilmu pengetahuan, kearifan lokal, dan pendekatan ekosistem.

Perencanaan spasial dilakukan melalui pembentukan Kawasan Lindung Laut Regional (KLA) seluas 1,3 juta hektar, yang dibagi menjadi berbagai zona: zona inti (tanpa aktivitas), zona perikanan berkelanjutan, dan zona pariwisata, sehingga menjaga keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan. Kerusakan terumbu karang merupakan tindak pidana di wilayah Raja Ampat dan akan mengakibatkan tindakan terhadap pelaku, yang tergantung pada tingkat keparahan kerusakan dapat mengakibatkan denda hingga 200 juta Rupiah Indonesia per unit kerusakan, dan/atau hukuman penjara hingga 10 tahun.

Unit Pelaksana Teknis Regional Kepulauan Raja Ampat, bersama dengan instansi pemerintah lainnya dan sektor swasta, sedang dalam proses pemasangan Sistem Tambat Raja Ampat (RAMS) di seluruh KLA di Raja Ampat. Jaringan tambatan ini diperlukan untuk mendukung upaya perlindungan habitat dan lingkungan laut yang rentan dengan mengurangi kebutuhan untuk menjatuhkan jangkar, sekaligus meningkatkan keselamatan dan kenyamanan bagi kapal yang mengunjungi Kawasan Perlindungan Laut (MPA) di Raja Ampat.

Kolaborasi melibatkan berbagai pihak termasuk pemerintah nasional dan lokal, LSM nasional dan internasional, lembaga donor, dan masyarakat adat, seperti suku Maya yang diberi peran penting melalui pengakuan hak teritorial adat dalam pengelolaan laut. Sekitar lebih dari 300 masyarakat lokal telah dilatih sebagai petugas patroli laut (pengawasan berbasis masyarakat) dan pemandu ekowisata yang bertujuan untuk memperkuat pengawasan dan manfaat ekonomi. Dari segi pencapaian, berdasarkan data CI Indonesia dan WWF, tutupan karang hidup meningkat dari 36% pada tahun 2006 menjadi lebih dari 45% pada tahun 2020 di beberapa zona inti.

Biomassa ikan karang juga meningkat rata-rata 250% selama 10 tahun di daerah dengan perlindungan tinggi. Secara ekonomi, pengembangan ekowisata memberikan kontribusi yang signifikan, dengan pendapatan pariwisata masuk ke Dana Konservasi yang digunakan kembali untuk pengelolaan kawasan. Pada tahun 2019, Raja Ampat menerima Penghargaan Taman Biru dari Lembaga Konservasi Laut atas keberhasilan konservasi laut sesuai standar internasional. Konservasi di Raja Ampat juga berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

Terumbu karang dan padang lamun yang dilindungi bertindak sebagai penyerap karbon alami dan melindungi garis pantai dari abrasi akibat naiknya permukaan air laut. Studi menunjukkan bahwa area ini berpotensi menyerap hingga 15 juta ton CO2 ekuivalen per tahun, menjadikannya aset strategis dalam agenda perubahan iklim Indonesia. Sejak pengembangan Kawasan Konservasi Laut (MPA), Unit Pelaksana Teknis Daerah Badan Pelayanan Publik Daerah untuk Pengelolaan Kawasan Konservasi di Perairan Kepulauan Raja Ampat telah melakukan patroli dan pemantauan di area tersebut.

Sebagai pintu gerbang menuju Raja Ampat, Sorong juga layak mendapat pujian atas upaya konservasi penyunya. Upaya konservasi penyu merupakan bagian penting dari upaya pelestarian spesies laut yang terancam punah, dengan pendekatan spasial, kolaborasi lintas sektor, dan keterlibatan masyarakat adat. Area pesisir seperti Pantai Sayosa, Pantai Sausapor, dan Pulau Matan telah ditetapkan sebagai zona konservasi penyu dalam rencana tata ruang distrik dan provinsi, dengan pengelompokan kawasan suaka dan zona penyangga yang membatasi aktivitas manusia, seperti pembangunan dan penambangan pasir. Sejarah konservasi penyu di wilayah ini berawal dari zaman kolonial Belanda, tetapi baru mendapat perhatian sistematis sejak awal tahun 2000-an, ketika populasi penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea) terancam oleh perburuan telur dan degradasi habitat.

Melalui kolaborasi antara Pusat Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat, masyarakat adat Moi dan Maybrat, LSM lokal, seperti Yayasan Penyu Papua, dan mitra internasional seperti World Wide Fund for Nature. Upaya konservasi dilakukan melalui patroli keamanan, penyelamatan dan penetasan telur, serta pendidikan masyarakat. Pencapaian terukur dari program ini meliputi peningkatan jumlah sarang aktif per tahun, dari hanya sekitar 150 sarang pada tahun 2010 menjadi lebih dari 500 sarang pada tahun 2022 di Pantai Sausapor, serta tingkat keberhasilan penetasan telur yang meningkat dari 40% menjadi lebih dari 80%. Selain itu, masyarakat setempat kini terlibat sebagai sukarelawan konservasi penyu dan mendapatkan manfaat ekonomi melalui program ekowisata berbasis konservasi, di mana wisatawan dapat menyaksikan proses pelepasan tukik.

Pada tahun 2021, kawasan konservasi penyu di Kota Sorong menerima penghargaan "Kepemimpinan Hijau" dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas inovasinya dalam melibatkan masyarakat adat dalam konservasi spesies yang terancam punah. Dalam konteks perubahan iklim, perlindungan pantai dan penyu laut juga memiliki banyak fungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut dan melindungi struktur pantai dari erosi. Penyu laut juga dianggap sebagai indikator kesehatan laut, sehingga menjaga populasinya berarti memperkuat ketahanan ekosistem terhadap perubahan suhu dan keasaman air laut.

Berbeda dengan konservasi penyu di daerah lain di Indonesia, seperti Pulau Derawan (Kalimantan Timur) atau Sukamade (Jawa Timur), yang lebih mengandalkan pendekatan pariwisata massal dan dikelola oleh taman nasional, konservasi penyu di Kota Sorong menekankan pendekatan ekologis-budaya berdasarkan hak adat dan pengetahuan lokal. Di sini, masyarakat adat berperan sebagai penjaga utama, bukan hanya pelaksana teknis, dan konservasi dipandang sebagai bagian dari nilai-nilai leluhur, bukan sekadar kegiatan ekonomi. Pendekatan ini menjadikan konservasi penyu di Kota Sorong sebagai contoh unik dan inklusif dari model konservasi berbasis masyarakat adat yang adaptif terhadap tantangan iklim dan sosial di Tanah Papua.

Sumber: https://kkprajaampat.com/


Selasa, 16 Desember 2025
3 dilihat | 1 menit membaca

Berita dan cerita